"Belah saja dadaku!".
Ahh kalimat itu ternyata tidak terasa bualan buatku.
Jantung Hati-ku terbelah dadanya.
Enam bulan setelah vonis Aluna mengalami kelainan jantung bawaan, berupa bocor jantung ASD ternyata tidak ada perubahan apapun. Malah vonis lebih berat yang kami terima, Aluna harus operasi untuk koreksi kelainan jantungnya. Dengan bedah jantung terbuka. Sekali lagi aku patah hati.
Minggu ini sungguh berat untukku, menampakan sedih di depan keluarga hanya menambah sedih untuk semua. Aku hanya pasrah dengan berlagak sok tegar.
Padahal dua minggu lagi Aluna mengijak usia satu tahunnya. Syukurku pada Allah, menitipkan Aluna pada kami. Tapi rasanya berita itu hampir menutupi rasa syukurku. Terkadang mengumpat dan menyalahkan. Aku hampir pada kufur nikmatMu.
Ahhh, Aluna. Begitu cerianya gadis ini. Berapa lamakah ceria ini tetap terpancar dari kelainan yang dialaminya?. Seperti bom waktu, aku tersadar. Aku tak bisa menghabiskan waktu dengan sia-sia. Aku harus cepat agar cerianya selalu terpancar.
Mencari, membaca, berunding dan akhirnya kami memutuskan. Aluna menjalani operasi seperti yang direkomendasikan dokter. Aku dan suami menguatkan hati dan tekad. Untuk saling ikhlas dan tidak saling menyalahkan. Untuk saling menguatkan atas semua keputusan. Karena ini ikhtiar kami.
Dua Puluh Empat Februari, aku, suamiku, mamaku, papaku, dan adikku mengantar Aluna ke Rumah Sakit Pusat Jantung Harapan Kita. Setelah mengurus administrasi, kami memasuki kamar perawatan sebelum operasi. Ahhh, Aluna senang. Disangkanya kami sedang berlibur di hotel, seperti yang dilalui jika ikut bersamaku bekerja. Disambangi sanak saudara, diajak bermain dan bercanda. Aluna tidak pernah tau apa yang akan terjadi padanya beberapa jam ke depan.
Hingga tengah malam tiba, Aluna diharuskan berpuasa hingga pukul tujuh pagi saat operasi dilakukan. Kebiasaannya yang terbangun saat malam mencari "nenen" menjadi siksaan buatku. Berkali-kali aku harus menolaknya untuk "nen" dengan wajah ngantuk dan harap. Maaf Nak, Aluna harus sabar sayang. Aluna mungkin mulai menyadari, ini janggal mami.
Pukul enam, suster datang memandikan Aluna. Setelah kehausan semalaman, kemudian disiram air hingga kepala. Tak terbayang suara tangisnya, pecah. Aku kembali patah hati.
Aluna sadar ini janggal, Aluna hanya memelukku hingga tertidur. Maaf ya Aluna.
Pukul tujuh, detik menyeramkan terus bergulir. Entah aku seperti menyesali keputusan untuk mengoparasi Aluna. Aku takut kehilangan Aluna setelah detik detik ini. Aku takut.
Pukul tujuh tiga puluh menit, kuantar Aluna ke ruangan operasi. Dingin. Ini kali kedua aku memasuki ruangan sedingin ini. Pertama saat melahirkan Aluna.
Teringat cerita nabi Ibrahim yang menyembelih Ismail. Aku rebahkan tubuhnya dimeja ramping itu, tangannya tetap mencekal tubuhku dengan rengekan "miiiiii". Ku lepaskan, kuusap rambutnya, kutatap matanya, kukuatkan hatinya, kuserahkan anakku pada dokter dokter itu, kupasrahkan jantung hatiku pada Allah, kuikhlaskan Aluna padaNya. Benar-benar ikhlas.
Dua Jam berlalu, aku mulai memasang telinga mendengar panggilan satpam jika operasi Aluna selesai. "keluarga Aluna". Alhamdulillah, operasinya selesai. Kami diminta ke ruangan operasi untuk menemui dokter. Hatiku belum tenang, semakin berdebar. Sambil menunggu dokter di depan ruang ICCU, aku mengintip. Aluna tertidur, di ujung ruangan. Ahh, jantung hatiku.
Alhamdulillah, operasi berjalan lancar. Pembedahan koreksi hingga penutupan kembali berjalan lancar. Aluna sedang dipantau perkembangan dan kesadarannya. Dibantu doa dan tetap diusahakan oleh tenaga medis lain. Alhamdulillah, ku temui jantung hatiku kembali. Dengan selang dan kabel di sekujur tubuh, dengan pulas Aluna tertidur dibawah pengaruh obat bius. Kuusap rambutnya, kubisikan padanya. "Terima kasih Aluna".