Menandangi Baubau, berarti menguak sejarah peradaban Indonesia. Kota yang terletak di punggung sang Naga pulau Buton ini memiliki sejarah panjang peradaban Indonesia, salah satu penggagahnya adalah benteng Wolio yang disebut-sebut juga sebagai pusat pemerintahan VOC Indonesia-Timur pada masa itu.
Kota Semerbak yang menabalkan status kota pada tanggal 31 Juni 2001 dengan luas 221 Ha berkacak di perairan selat Buton, lokasi strategis sebagai pusat pertahanan Kesultanan Buton saat itu. Tak heran peninggalan-peninggalan budaya dan sejarah banyak tersimpan di bumi Baubau.
Terpaan pendar mentari bulan Januari disertai desiran bayu di musim penghujan menghangatkan kota Baubau, mengiringi setiap senti menapaki sejarah kota ini. Tiga puluh menit mengendari motor pinjaman, akhirnya sampai di sebuah tikungan dengan informasi "Goa Lakasa".
Here, I'm! Goa Lakasa |
Mengapa La Kasa? yah, La Kasa sebenarnya adalah nama orang, Bapak Kasa si penemu goa ini dan La adalah nama imbuhan untuk lelaki pada masyarakat Baubau. Maka, jadilah orang menyebutnya dengan goa La Kasa. Pak Kasa setiap harinya selalu berada di mulut goa ini, terkadang membantu pengunjung untuk menyusuri goa. namun sayang, pak La Kasa tidak di lokasi saat saya ke sini.
Goa La Kasa atau masayarakat Baubau lebih mengenalnya dengan pemandian La Kasa yang terletak di kelurahan Sulaa, kecamatan Betoambari, Baubau. Memasuki goa ini, berarti memasuki perut bumi. Cahaya pendar remang senter yang terbatas, menuntun saya memasuki mulut goa yang mungil ini, nampaknya Ia tak mau mengagakan sedikit bibirnya, sehingga memaksaku memasuki dengan memiring-membungkukan badan dan terus berjalan teliti.
memasukinya... |
Goa yang gelap, tanpa penerangan, dan saya datang dengan tanpa membawa perlengkapan meng-Goa. dengan sandal jepit licin, tanpa senter, tanpa lilin, tanpa helm. Akhirnya dengan senter pinjaman pengunjung sebelumnya, nekad-lah saya memasuki si perut bumi ini.
Memasukinya disambut stalagtit menjuntai seperti lilin terbalik yang menitikan tetes air di sumbunya. Tapi sayang, lalu lalang pengunjung menggagalkan tetesan di bawahnya untuk tumbuh menggapai asalnya. Terus menjelajahi si perut goa dan terus terpana. Stalagtit dan stalagmit goa ini bervariasi mulai dari seperti tetesan lilin, cengkraman, kristal-kristal equilibrium, dan semuanya memukau. Saya tiidak merasakan panas di dalam goa ini, justru sensasi dingin dan sejuk yang menjumpai, mungkin karena air di dalam goa ini.
Stalagtit gapura penyambut di perut bumi |
the awesome :D |
seperti ingin mencengkram |
Equibrilium |
meleleh seperti rasaku ^^ |
Untuk mengakhiri menuju pangkal goa La Kasa tidak memerlukan waktu yang lama, hanya 15 menit. Goa dengan kedalamam 100 meter ini memiliki genangan air yang jernih seperti telaga, dan inilah mengapa disebut pemandian La Kasa oleh masyarakat. Air di goa ini merupakan air tawar dan dingin. Masayarakat menuturkan, air goa ini tidak pernah kering, walaupun di musim kemarau sekalipun, dan air tersebut dapat mencukupi keperluan air untuk warga sekitar. Berkah alam.
Telaga Banyu di perut bumi Goa La Kasa |
Pemerintah telah menyadari potensi goa La Kasa ini, maka pada tahun 2010 telah dilakukan pemugaran pintu masuk goa, sehingga pengunjung dapat memasuki dengan mudah. Lampu-lampu taman dengan aliran listrik juga terpasang di sepanjang jalur penyusuran goa, hal ini memang memudahkan saat memasuki goa. hanya saja, jadi kurang alami dan berpotensi menghantarkan listrik yang dapat membahayakan pengunjung.
Menyusuri goa La Kasa, pengalaman yang menakjubkan. Di perut bumi sekalipun, keindahan masih ditemukan. Dan manusia selalu berusaha menguaknya. Walau dengan cara sederhana.
kami, manusia yang terus menguak alam dengan sederhana ^^ |